Eksistensi penambangan 11 perusahaan di kawasan berstatus quo (tumpang tindih) di Desa Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konut terus berlarut tanpa adanya penindakan dari Aparat Penegak Hukum (APH) dan instansi terkait.
Pemerhati lingkungan asal Konut, Hendrik menyayangkan sikap APH dan instansi terkait yang terkesan melalukan pembiaran, sehingga 11 perusahaan nampak leluasa mengeruk sember daya alam secara ilegal.
Hendrik menjelaskan, pembiaran tersebut tentu akan berdampak pada ekosistem lingkungan hidup di bumi oheo. Dan pada akhirnya, masyarakat pula yang akan menikmati dampak dari eksploitasi ilegal tersebut.
“Sejak 2018 sudah dalam keadaan status quo antara PT. Aneka Tambang (Antam) dan 11 IU,” ujarnya, saat ditemui Sultrust.id belum lama ini.
Hendrik mempertanyakan sejauh mana peran Kementerian ESDM yang memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan atas aktivitas pertambangan, terutama inspektur tambang yang semestinya melakukan pengawasan secara komulatif.
“Semestinya, Kementerian ESDM melalui inspektur tambang kan bisa melakukan pengecekan di lapangan, apakah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan-perusahaan yang beraktivitas itu masih aktif atau sudah berakhir,” jelas warga Molawe ini.

Menurutnya, aktivitas ilegal tersebut telah menimbulkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, mengacu pada UU nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH pada pasal 65 (1) menjelaskan, bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
“Saya juga mendorong lembaga HAM turun ke Kabupaten Konut,” kata Hendrik.
Selain itu, dia juga mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanann (KLHK) agar segera membentuk tim untuk melakukan pengkajian, terkait dampak-dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan.
Pasalnya, aktivitas mereka (11 perusahaan) hampir dipastikan banyak yang tak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), UPKL dan UPL. Ini adalah tahapan bagi mereka dalam melakukan aktivitas pertambangan, ini sangat erat kaitannya dengan masyarakat yang berada di sekitar tambang.
“Kalau sudah terjadi kegiatan penambangan, pasti akan ada dampak lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Hendrik meminta pemerintah dan pihak-pihak terkait yang memiliki kewenangan untuk mengatur pelaksanaan kegiatan pertambangan, agar responsif terhadal apa yang telah terjadi di bumi oheo.
Dia juga menyebutkan, setelah melakukan pemantauan di lapangan, 11 IUP yang hingga saat ini masih melakukan eksplorasi di wilayah tumpang tindih itu, nampak melalukan penambangan secara amburadul.
“Mereka tidak mematuhi kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan benar, penerapan K3 juga tidak sepenuhnya dilakukan perusahaan tambang,” jelasnya.
Adapun 11 perusahaan tambang yang masih melakukan aktivitas penambangan di lahan tumpang tindih itu adalah PT. Andhikara Cipta Mulia, PT. Avri Raya, PT. Sangia Perkasa Raya, PT. Mughni Bumi Energi, PT. Hafard Indotect, PT. James Armando Pundimad, PT. Karya Murni Sejahtera 27, PT. Rizki Jaya Makmur, PT. Sriwijaya Raya dan PT. Wanagon Anoa Indonesia. (p2/mr)



















