Perkumpulan Forum Alam Nusantara (PFAN) Sultra meminta pihak Polda segera lakukan penyelidikan terhadap aktivitas pertambangan PT. Tonia Mitra Sejahtera (TMS), yang beraktivitas di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana.
Permintaan tersebut dilayangkan melalui surat pengaduan ke Polda Sultra, Sabtu 6 Maret 2021.
Direktur PFAN Sultra, Fatahillah mengatakan, saat ini PT. TMS memiliki dua kepengurusan dengan akta pemilik saham yang bebeda.
Kepengurusan lama berdasar pada akta Nomor 65 tertanggal 24 Desember 2003. Sementara pengurus baru berdasar pada akta Nomor 75 tertanggal 16 Januari 2017 yang telah diubah sebanyak delapan kali.
“Hingga akta terakhir yakni akta Nomor 4 tertanggal 15 Oktober 2019,” kata Fatahillah, Sabtu (6/3).
Kepengurusan baru ini dianggap telah melanggar hukum, karena pembentukan pengurus melalui Rapat Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) tersebut berjalan tak sesuai mekanisme. Dimana dari tiga pemegang saham, hanya satu yang hadir, dua lainnya tak mengetahui adanya RUPSLB.
Hal itu dikuatkan dengan putusan perkara perdata oleh Pengadilan Negeri Kendari Nomor 225/Pdt.G/2020/PN Kdi. Sebagian amarnya menyatakan, akta Nomor 75 tertanggal 27 Januari 2017 yang dibuat oleh PT. TMS kepengurusan baru adalah perbuatan melawan hukum.
“Kemudian, setiap rapat dan seluruh rapat pemegang saham, termasuk perubahan anggaran dasar setelah tanggal 16 Januari 2017 lalu tidak sah, tidak mengikat dan batal demi hukum,” ungkap Fatahillah.
Atas putusan perkara perdata tersebut, hal ini mengakibatkan akta-akta yang berpijak sambung menyambung dari akta Nomor 75, termasuk akta terakhir, nomor 4 tertanggal 15 Oktober 2019 tidak sah.
“Olehnya itu, aktivitas pertambangan diduga ilegal. Karena izin usaha pertambangan atau IUP PT. TMS masih melekat pada pengurus lama. Namun faktanya, pengurus baru menambang menggunakan IUP yang secara hukum bukan miliknya,” tambah Fatahillah.
Untuk itu, lanjut Fatahilla, hal tersebut tergolong perbuatan melawan hukum yang telah diatur dalam undang-undang Nomor 4 tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batubara.
“Pasal 158 yang menyatakan setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau UIPK dalam pasal 37 pasal 40 ayat 3 pasal 48 pasal 67 ayat 1 Pasal 74 ayat 1 atau ayat 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar,” terang Fatahillah.
Lebih lanjut, dia menegaskan, bahwa pihaknya meminta penyidik Polda Sultra untuk segera melakukan penyidikan, guna menemukan bukti-bukti awal terjadinya tindak pidana atas perkara atau kasus yang sudah diuraikan sejauh ini.
“Harapannya kami menghindari kurusakan lingkungan dengan adanya aktivitas penambangan. Baiknya tidak beroprasi atau beraktivitas dulu sambil menunggu putusan hukum selesai,” tutup Fatahillah. (p2/mr)



















