Konawe, Sultrust.com — Di tengah sorotan publik terhadap tata kelola pemerintahan daerah, nama Hania, istri Bupati Konawe, kembali jadi perbincangan.
Polemik seputar dugaan rangkap jabatan dan pelanggaran etika profesi guru membuat posisi Hania kian disorot, terutama setelah unggahan kritik tajam dari pemerhati kebijakan publik, Tie Saranani, beredar luas di media sosial.
Hania diketahui masih berstatus guru bersertifikasi, namun pada saat yang sama menjabat sebagai Ketua PGRI, Ketua Tim Penggerak PKK, dan Ketua Dekranasda Konawe. Kombinasi jabatan itu, menurut sejumlah pihak, berpotensi menyalahi aturan dan menabrak batas etika profesi.
Tie Saranani menyebut situasi yang terjadi di Konawe bukan lagi sebatas pelanggaran moral, melainkan sudah menyentuh ranah hukum.
“Saya pikir hampir seluruh masyarakat yang memantau aktivitas pejabat atau istri-istri pejabat di Sulawesi Tenggara tidak heran. Bahkan sejak awal saya ingin bertemu langsung dengan Ibu Hania untuk menyampaikan banyak hal, karena beliau ini kelihatannya sudah kelewat batas,” ujarnya dalam unggahannya, Selasa (4/11/2025).
Selain itu, Tie mengungkapkan adanya dugaan praktik “joki mengajar” yang digunakan untuk memenuhi beban kerja sebagai guru bersertifikasi, sementara Hania tetap menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG).
“Kalau benar Ibu Hania tidak pernah mengajar tetapi masih menerima TPG, itu sudah termasuk kategori korupsi,” tegasnya.
Ia menilai, dengan jabatan publik yang begitu banyak, nyaris mustahil Hania bisa menunaikan kewajiban profesional sebagai pendidik.
“Sebagai Ketua PKK dan Dekranasda, tanggung jawabnya sangat besar dan tidak bisa ditinggalkan. Seharusnya beliau memilih, apakah fokus di profesi guru atau di organisasi. Jangan dua-duanya dipegang,” katanya.
Lebih lanjut, Tie juga menyinggung gaya kepemimpinan Hania yang sempat viral saat melantik pengurus PKK dan Dekranasda. Dalam video yang beredar, Hania menyebut hanya melantik orang yang “sefrekuensi”.
“Dalam pidatonya, beliau bilang hanya melantik yang ‘sefrekuensi’. Artinya apa? Dari sekian banyak warga Konawe, hanya segelintir orang yang dianggap sefrekuensi. Dan yang saya dengar, sebagian besar pengurus yang dilantik justru dari kalangan guru. Padahal guru tidak boleh meninggalkan tugas mengajar,” ungkapnya.
Bagi Tie, situasi ini menunjukkan ironi: seorang Ketua PGRI justru diduga mengabaikan aturan profesinya sendiri.
“Ini sangat disayangkan. Seorang Ketua PGRI mestinya tahu soal etika dan aturan guru bersertifikasi. Kalau seperti ini terus, Konawe bisa makin kacau,” ujar Tie.
Tak berhenti di situ, Tie menilai dinamika kekuasaan di Konawe kini didominasi segelintir orang di sekitar pucuk pemerintahan.
“Baru sebulan dua bulan bupati dan wakilnya dilantik, tapi sudah muncul istilah ‘tiga matahari’ di Konawe, satu bupati, dua istri, tiga pemilik uang. Ini sudah tidak sehat,” Tutupnya.
Olehnya itu ia berharap masyarakat Konawe dapat menilai dan menentukan sendiri langkah terbaik agar “kekacauan” di pemerintahan setempat segera dihentikan.



















