Kendari, Sultrust.com — Pernyataan Ketua Komisi III DPRD Kota Kendari, La Ode Ashar, terkait pelaksanaan eksekusi tanah milik Koperasi Kopperson menuai kritik tajam.
Komentar yang disampaikannya di ruang publik itu dinilai blunder dan menunjukkan minimnya pemahaman terhadap substansi hukum perdata.
Sejumlah pihak menilai ucapan La Ode Ashar tidak hanya keliru secara substansi, tetapi juga berpotensi menyesatkan masyarakat. Sebagai pejabat publik, ia dianggap tidak memahami secara utuh mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan dan hukum acara eksekusi yang telah diatur dalam sistem peradilan Indonesia.
Dalam berbagai pernyataannya, La Ode Ashar menyebut pelaksanaan eksekusi tanah Kopperson perlu ditinjau ulang karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Namun, tanggapan itu justru dinilai sebagai bentuk ketidakpahaman terhadap prinsip hukum yang sudah final dan mengikat (inkracht).
Kritik paling keras datang dari Koperasi Kopperson melalui Kuasa Khusus Fianus Arung, yang menyebut komentar Ketua Komisi III DPRD Kendari tersebut blunder dan mencerminkan kedangkalan analisis seorang pejabat publik.
“Saya, Kuasa Khusus Koperasi Kopperson, tertawa geli mendengar semua ungkapan La Ode Ashar. Entah La Ode Ashar belajar dari mana, sehingga ia berani berkata bahwa pemohon eksekusi tidak punya kedudukan hukum, tidak punya legal standing. Ini menambah kedunguannya,” ujar Fianus Arung.
“Lebih parah lagi ketika ia mengatakan bahwa Kopperson atau Abdi Nusa Jaya bukan pihak yang berperkara selama ini. Aduh om, ke mana saja selama ini? Bukankah dalam akta notaris sudah jelas bahwa Ketua Kopperson sejak tahun 2015 adalah Abdi Nusa Jaya Hatali? Bukankah yang berperkara adalah Kopperson? Aduh om… om…” imbuhnya.
Lanjut, Menurut Fianus, satu-satunya pernyataan La Ode Ashar yang benar adalah ketika ia mengatakan, “selama ada permintaan pengadilan, BPN tidak boleh menolak.” Namun, kalimat lanjutannya “jika pengadilan memenuhi syarat, ya silakan” justru memperlihatkan ketidaktahuan mendasar terhadap mekanisme hukum eksekusi.
“Dari analisa bahasa dan substansi ucapannya, diduga kuat La Ode Ashar tidak memahami undang-undang dan mekanisme hukum acara eksekusi pengadilan.Ia terdengar bukan sedang menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat secara umum, tetapi wakil kelompok tertentu.” kata Fianus dalam keterangan tertulis.
Fianus menegaskan, perkara tanah Kopperson telah berkekuatan hukum tetap sejak 1995. Artinya, tidak ada lagi ruang upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut. Pernyataan La Ode Ashar yang menyebut “pengadilan melakukan kesewenang-wenangan sebab tidak ada dasar hukumnya” disebut keliru dan menyesatkan publik.
Fakta hukumnya, kasus ini telah melalui proses panjang sejak 1993, dengan nomor perkara 48/Pdt.G/1993/PN.Kdi. Gugatan yang diajukan Pengurus Kopperson kala itu terhadap mantan bendaharanya, Wongko Amiruddin dkk., dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Kendari pada 22 November 1994.
Tergugat sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara, namun upaya itu ditolak melalui putusan Nomor 14/PDT/1995/PT.Sultra. Sejak tidak ada lagi kasasi, putusan tersebut inkracht dan wajib dieksekusi.
Sejumlah penetapan eksekusi pun telah diterbitkan. Di antaranya, Surat Penetapan Pengadilan Negeri Kendari Nomor: 12/Pan.Pdt.G/Eks/1996/PN.Kdi tanggal 14 November 1996, serta surat Pengadilan Tinggi Sultra tanggal 5 Februari 1997 yang memerintahkan PN Kendari melaksanakan eksekusi sesuai putusan. Namun, pelaksanaan eksekusi kala itu tak berjalan semestinya akibat tumpang tindih sertifikat dan adanya penyerobotan lahan oleh pihak lain.
Dalam perjalanannya, upaya perlawanan dari pihak-pihak yang menguasai lahan justru berujung sia-sia. Sejumlah gugatan dari para pelawan telah ditolak pengadilan, antara lain oleh Drs. La Ata (Nomor: 16/Pdt.Plw/2017/PN.Kdi), H. Amiruddin dkk. (Nomor: 13/Pdt.Plw/2017/PN.Kdi), serta Husein Awad (Hotel Zahra) (Nomor: 80/Pdt.Bth/2018/PN.Kdi).
Putusan-putusan tersebut mempertegas legalitas hak milik Koperasi Kopperson atas tanah di kawasan Tapak Kuda, Kendari. Terlebih, kepengurusan baru Kopperson yang diketuai Abdi Nusa Jaya Hatali telah sah secara hukum berdasarkan Akta Notaris Nomor 21 tanggal 10 Oktober 2015.
Fianus menilai bahwa perubahan pengurus tidak menghapus hak badan hukum koperasi untuk menindaklanjuti putusan. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, serta Pasal 1653 KUHPerdata, koperasi berhak melakukan perbuatan hukum melalui pengurus yang sah.
Kuasa Khusus Kopperson juga mengingatkan agar tidak ada pihak yang mencoba menghasut warga untuk menolak pelaksanaan eksekusi.
“Kuasa khusus Kopperson memberikan warning! Jika ada oknum yang secara terang-terangan melakukan upaya melawan hukum dengan menghasut warga untuk melakukan perlawanan terhadap perintah negara, maka kami pastikan akan diproses secara hukum sebab tim hukum kami sedang kumpulkan bukti untuk menjerat para pelaku provokasi,” tegas Fianus.
Ia menambahkan bahwa negara tidak boleh tunduk pada opini publik, apalagi jika opini tersebut justru memperlemah wibawa hukum.
“Kami tegaskan, tidak ada kesewenang-wenangan pengadilan. Yang ada adalah perintah negara melalui kekuatan hukum tetap. Kami minta semua pihak, termasuk pejabat publik, menghormati hukum agar tidak memperkeruh keadaan dan menghasut masyarakat. Hal ini bisa menjadi perbuatan melawan hukum,” ujarnya.
Lebih jauh, Fianus juga menyindir keras pernyataan-pernyataan pejabat yang dinilai provokatif.
“Para pihak yang hendak beropini, hendaknya edukatif bukan provokatif. Mana ada wewenang DPRD batalkan putusan eksekusi pengadilan. Secara kelembagaan saja DPRD bukan yudikatif. Bahkan Presiden pun tidak punya wewenang secara undang-undang untuk membatalkan eksekusi pengadilan. Tolong blajar dulu lalu beri opini biar dapat mencerdaskan bangsa bukan membodohi rakyat,” tutupnya. (*)