Kendari, Sultrust.com – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Unaaha, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), memutuskan menolak gugatan perdata PT Tani Prima Makmur (TPM) terhadap tiga mantan karyawannya.
Gugatan bernilai Rp10 miliar itu dinyatakan tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard dalam putusan bernomor 10/Pdt.G/2025/PN.Unh, tertanggal 16 September 2025.
Hakim Ketua Muh. Iqbal Romadhoni bersama dua hakim anggota, Dianita Jeannette Hillary Pangaribuan dan Hasriani Hamid, menandatangani putusan tersebut. Dengan begitu, para tergugat yang masing-masing bernama Sultan, Ruslan Hamid, dan Hasan Hasrat bebas dari tuntutan ganti rugi yang diajukan perusahaan.
Kuasa hukum tergugat, Andre Dermawan, menyebut putusan itu sudah tepat. Menurutnya, akar perkara ini bermula dari aksi demonstrasi dan mogok kerja yang digelar ketiga kliennya bersama pekerja lain.
“Padahal, satu hal yang perlu diketahui, tergugat melakukan tindakan tersebut tidak lain untuk memperjuangkan hak daripada pekerja yang masih berstatus pekerja harian lepas (PHL), kendati pun mereka sudah bekerja tahunan, bahkan ada yang puluhan tahun,” kata Andre, Selasa (16/9/2025).
Lanjut, Andre menegaskan, aksi para tergugat sah secara hukum ketenagakerjaan.
“Ketiga tergugat bertindak sudah sesuai mekanisme. Pasalnya ketiga tergugat merupakan pengurus Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) Konawe, yang masing-masing tergugat adalah Ketua Pengurus Unit Kerja (PUK) yang dibentuk di perusahaan PT TPM,” ujarnya.
Majelis hakim, dalam pertimbangan hukumnya, menyatakan rezim hukum ketenagakerjaan sudah mengatur hak mogok beserta akibatnya secara limitatif. Rujukan itu tercantum dalam Pasal 142 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor KEP.232/MEN/2003.
Sanksi yang diatur hanya berupa pengkualifikasian mogok kerja tidak sah sebagai mangkir. Pengusaha wajib memanggil kembali pekerja secara patut sebanyak dua kali. Jika tak hadir, pekerja dianggap mengundurkan diri. Andre menilai, sanksi tersebut sudah final.
“Dengan diaturnya sanksi secara limitatif, maka secara a contrario perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi sanksi lain di luar yang telah ditetapkan. Tuntutan ganti kerugian materil berdasarkan PMH yang diajukan penggugat merupakan suatu bentuk sanksi baru yang tidak dikenal dan tidak diatur dalam rezim hukum ketenagakerjaan,” jelasnya.
Lebih jauh, Ia menambahkan, mengabulkan tuntutan PT TPM justru akan menabrak asas lex specialis derogat legi generali.
“Salah satu pertimbangan hakim menyatakan sanksi terhadap mogok kerja tidak sah itu hanya dinyatakan mangkir sehingga tidak berdasar tuntutan Rp10 miliar kepada para pejuang buruh yang melakukan mogok kerja untuk memperjuangkan hak-hak buruh,” Pungkasnya. (*)